Selasa, 23 Juni 2015

Cerpen 4 Penyihir Hutan

Penyihir Hutan

Jauh di dalam hutan, tinggalah seorang wanita tua bungkuk dengan kursi goyang dan tongkat sepanjang kepalanya dengan bola kristal di atas tongkat tersebut. Ditemani oleh kucing peliharaannya bercorak hitam putih, dia menatap sungai yang mengalir sambil mengelus kucingnya. “Tamu-ku sepertinya datang.” Ujar sang penyihir kepada si kucing dan berhenti mengelus. Disitu dia bertemu dengan buaya putih kecil dengan untaian bunga warna-warni terikat erat di kaki sang buaya.


Dia pun mengambil buaya tersebut dan mendudukan sang buaya di pangkuannya. Kucing pun pergi ke dalam gubuk dan mengambil sebuah botol dengan ramuan berwarna merah muda. Sang penyihir meminumkan ramuan tersebut kepada sang buaya, dan ajaib buaya itu bisa berbahasa manusia.
“Wahai penyihir! Bisakah aku minta satu permintaan saja?” Tanya sang buaya terhadap penyihir tua tersebut. “Tentu, buaya kecil!” ujar sang penyihir sembari mengelus sisik keras buaya tersebut layaknya kucing.

“Jadikanlah aku manusia!” pinta sang buaya kepada sang penyihir. “Untuk apa, buaya kecil?” Tanya sang penyihir kepada buaya kecil tersebut. “Aku ingin menikahi seseorang yang telah menolongku ini dan merawatku penuh kasih sayang.” Jawab sang buaya kepada penyihir. “Tentu saja, akan tetapi setiap permintaan harus bertimbal-balik.” Jawab sang penyihir ramah.

“Aku sudah siap untuk itu!” jawab sang buaya tegas. Sang penyihir pun terhening sejenak dan mulai bicara, “Selama 10 tahun ini, kau harus menjadi pembantu yang mengurusiku,maka akan ku kabulkan permintaanmu!” jawab sang penyihir. Buaya itu pun menyanggupinya dan sang penyihir menyuruh sang kucing mengambil botol ramuan dengan cairan hijau di botol tersebut.

Dia menegukkan semua isi botol ramuan itu ke mulut si buaya dan sinar yang sangat terang keluar dari tubuh sang buaya, mengangkatnya serta memasukkan sang buaya kedalam sungai. Beberapa menit kemudian sinarnya menghilang, seseorang muncul dengan bertelanjang dada dengan rambut putih pendek dan wajah asing.

Dia lah sang buaya, dengan sosok seorang pria yang gagah. Sang buaya pun keluar dari sungai dan bertekuk lutut di hadapan penyihir tua tersebut. “Aku siap mengabdikan diriku untuk mu, wahai penyihir!” ujar sang buaya, penyihir itu pun mengangguk dan tersenyum, “Kau harus mempunyai nama, hai buaya, mulai sekarang nama mu adalah Abuy” jawab sang penyihir. Sang buaya pun tersenyum dan berterima kasih kepada sang penyihir tua tersebut.

Tahun demi tahun berlalu dan tamu sang penyihir; kucing liar, burung-burung, ikan, tikus membuat Abuy merasakan kehangatan sang penyihir hutan. Tidak ada satupun manusia mengunjunginya akan tetapi penyihir itu tidak merasa sedih ataupun duka, dia merasa sangat senang karena mempunyai sahabat binatang dan Abuy yang bisa di ajak berbicara, makan di meja yang sama, dan bercanda bersama. Abuy menikmati masa-masanya di gubuk penyihir.

Tepat hari esok adalah hari 10 tahun Abuy menjadi manusia dan menepati janjinya. Penyihir tua itu sudah sangat tua sehingga dia tidak bisa meramu obat untuk membuat dirinya tetap sehat, dia bukanlah seorang yang membangkang pada alam.

Sang penyihir menyampaikan pesan terakhirnya dan membisikan ucapan selamat tinggal serta terima kasih telah menunggu ajalnya bersama. Pesan terakhir sang penyihir ialah Abuy hanya bisa bertahan 10 tahun menjadi manusia dan kemudian ia akan kembali ke wujud aslinya ketika 10 tahun lagi telah berlalu.

Penyihir takut Abuy akan kecewa, tetapi Abuy sangat senang karena telah memberikannya kesempatan untuk menjadi manusia. Kecupan di kening dari Abuy adalah sesuatu yang terakhir sang penyihir rasakan. Abuy akhirnya pergi meninggalkan gubuk sang penyihir melewati hutan lebat yang dilarang dengan membawa peliharaan penyihir dan tas berisi ramuan penyihir yang dia titipkan padanya. Seketika Abuy menjajakkan kakinya keluar, gubuk tersebut hilang tak berbekas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar