Minggu, 28 Juni 2015

Cerpen 8 Si Jenius dan Tampan Andhika

Si Jenius dan Tampan Andhika

Suatu hari, hiduplah seorang anak dari empat bersaudara bernama Andhika, putra kedua dari keluarga Alisha. Tidak seperti kakaknya yang pertama dengan insting dan refleks yang kuat, Andhika menggunakan otaknya yang cerdas untuk memenangkan permainan.

Anak-anak desa menyukai kecerdasan dan inteleknya sekaligus ketampanan yang dianugerahi kepadanya, bahkan banyak sekali anak gadis desa mengagumi bahkan sampai ingin memiliki seutuhnya. ‘Si Jenius dan Tampan Andhika’ begitulah kata anak-anak gadis desa. Setiap kali Andhika pergi bermain, pasti banyak anak-anak gadis desa yang ikut melihat atau bermain dan selalu berharap untuk menjadi bagian dari timnya.

Terkadang sering terjadi pertengkaran hebat diantara anak gadis untuk mendapatkan undian tim Andhika. Hal ini sering membuat teman-teman laki-lakinya iri, terkadang membencinya dan mengatakan dia berlaku curang. Akan tetapi, hal ini di sanggah oleh para anak gadis desa dan balik mencerca seseorang yang menganggapnya curang atau tidak adil.

Andhika, akan tetapi, tidak tertarik terhadap anak-anak gadis desanya dan terasa sangat mengganggu. Dia lebih tertarik terhadap satu orang yang menjadi sorotannya dan selalu terbayang di dalam tidurnya, yaitu Talisha. Adiknya sendiri yang sangat amat ia cintai.

Cintanya sudah melebihi cinta seorang kakak pada adik, dan menjadi cinta dua insan. Andhika merasa bahwa dia dan adiknya yang ke-3, Talisha, seharusnya hidup bersama dan membina rumah tangga bersama. Itulah perasaan Andhika dan pikirannya yang terlalu tinggi untuk anak seumur dirinya.

Dia pun akhirnya memutuskan untuk menyatakan cintanya kepada adik yang ia sangat cintai. Keesokan harinya, dia melihat adiknya bersama anak laki-laki yang berparas wajah jelek; kulitnya yang setengah bersisik dan mukanya yang ditutup oleh topeng kayu aneh, duduk berdua di bawah pohon. Si lelaki pun mengambil bunga randa tapak putih dan memegang tangan Talisha, dan mereka pun bersama-sama meniup bunga tersebut sehingga bibit randa tapak berterbangan dan terbawa angin.

Andhika pun kesal melihat hal ini dan merencanakan sesuatu yang bisa mencelakakan anak lelaki tersebut dan juga mengenyahkan anak-anak gadis yang terobsesi padanya. Dengan otaknya yang jenius dan pintar serta ketampanannya, dia akan membuat anak lelaki itu lenyap untuk selamanya.

Dia pun mengatakan kepada para anak gadis desa secara sembunyi-sembunyi “Siapa yang berhasil membunuh “anak itu” maka dia boleh memilikiku selamanya!” anak-anak gadis desa pun senang dengan kata “memiliki selamanya” dan akhirnya mereka membawa pisau bambu dan batu untuk membunuh lelaki itu.

Mereka pun mendatangi lelaki yang tengah bermesraan dengan Talisha. Mereka berdua ketakutan melihat para anak gadis memegang pisau bambu dan batu dengan ujung yang tajam. Mereka pun mulai melemparkan pisau bambu kepada si lelaki tersebut. Pisau-pisau yang tajam menancap pada dirinya dengan jumlah hampir lebih dari sepuluh pisau.

Darah bercucuran dari tubuh si lelaki yang kemudian jatuh dan terbujur kaku. Para gadis pun bersorak senang terkecuali Talisha, dia pun menangis histeris dan ketakutan. Di tengah  keributan akan sorakan para gadis, mereka mendengar suara langkah kaki dan ketika melihat gerombolan orang tua datang dari arah berlawanan, mereka panik. Di depan mereka ada Andhika yang melaporkan keributan tersebut.

Ini semua adalah rencana Andhika, dia menyuruh para anak gadis untuk melenyapkan seorang anak laki-laki dan menjebak mereka. Walaupun beberapa anak gadis kembali menuduh Andhika, dia tetap tidak bersalah dan tidak berdosa di mata para orang tua karena tidak ada bukti yang kuat yang bisa menyalahkan pemuda tampan itu. Para gadis pun akhirnya dipulangkan ke rumah dan dikekang di rumah sebagai ganjaran atas hukuman mereka membunuh seseorang.

Setiap hari kamis diadakan penyiksaan masal untuk menebus dosa para anak gadis yang membunuh orang tak berdosa selama 5 kali dalam seminggu. Tentu saja, Andhika menyaksikan dengan senyum puas di mulutnya. Penyiksaan sayatan dengan menyayat satu bagian tubuh dan tidak terlalu dalam, kemudian di bakar bekas sayatan tersebut, hal ini dilakukan berkali-kali sampai kendi kecil terisi dengan darah mereka. Jeritan dan rintihan rasa sakit adalah lagu bagi telinga Andhika.

Akhirnya saat bagi Andhika menyatakan cinta di tempat Talisha bermesraan bersama anak lelaki yang telah mati. Akan tetapi, Talisha mencampakkan cinta kakaknya dan mengatakan bahwa mereka bersaudara dan sedarah yang tabu untuk bersatu dan menjalin hubungan. Keesokan harinya,  Andhika dan Tulisha mendadak menghilang dari desa itu dan entah kemana perginya tiada yang tahu, hanya bau yang sangat amis dan bekas kulit ular memenuhi kamarnya.

Rabu, 24 Juni 2015

Cerpen 7 Bunga Kecil Tulisha

Bunga Kecil Tulisha

Suatu hari hiduplah seorang gadis kecil bernama Tulisha, anak bungsu dari keluarga Alisha. Tulisha sangatlah baik kepada teman-temannya, bahkan terhadap binatang sekalipun yang ia kerap temui di setiap desa. Kebaikannya ini merebah ke setiap penduduk desa, bahkan penduduk desa memberi julukan bunga kecil Tulisha. Tulisha tidaklah menawan seperti kakak-kakaknya dan berkulit coklat hitam diantara mereka. Akan tetapi Tulisha tidak memikirkan hal sekecil itu. Dia tidak pernah merasa iri dengan kakak-kakaknya. Sebaliknya, kakak-kakaknya menyayangi dan menghormatinya sebagaimana dia memberikan kasih sayang kepada kakak-kakaknya. Ibu dan ayahnya selalu memujinya akan bakat alami yang tidak dimiliki oleh kakak-kakaknya, yaitu kebaikan.

Suatu saat, Tulisha melihat kakak pertamanya, Adriana, menyusup keluar desa menuju hutan lebat terlarang. Tulisha pun diam-diam membuntuti kakaknya sepuluh meter di belakang, bersembunyi di balik pohon dan semak tanpa memakai alas kaki. Sesampainya di dekat sungai, dia melihat kakaknya terdiam dan mengeluarkan pisau bambu yang biasa digunakan ibu untuk memotong bahan masakan.Keingintahuan Tulisha semakin membesar dan mengintip sangat lama hingga akhirnya dia melihat sosok harimau sebesar beruang berjalan dan bersiaga menerkam kakaknya. Tulisha takut akan harimau tersebut, akan tetapi merasa sedih dan iba terhadap harimau yang akan menerkam kakaknya. Dia merasakan sesuatu yang lain dalam diri harimau.

Terjadilah pertarungan hebat antara harimau dan Adriana. Melihat keadaan ini Tulisha menjadi bingung akan apa yang bisa ia perbuat. Ia tahu bahwa dia dan kakaknya sangat berbeda jauh. Bahkan kakak keduanya tidak bisa mengalahkan Adriana, sang anak dengan insting kuat.
Ketika pertarungan sedang sengit, tiba tiba kaki Adriana terkilir dan dia terjatuh telungkup. Tulisha semakin panik dan bingung dengan keadaan seperti ini. Dia mencoba untuk kembali ke desa akan tetapi terlalu jauh untuk kembali dan tidak ada waktu untuk meminta bantuan penduduk desa untuk membantu kakaknya. Lagipula, kakaknya bisa di hukum oleh penduduk desa jika ketahuan menyusup.

Si harimau pun mulai melompat untuk menerkam Adriana. “JANGAN!” teriak Tulisha kepada si harimau dan menghentikan gerakannya beberapa saat untuk mengalihkan pandangan, kemudian kakaknya menggoreskan luka dalam di mata kiri si harimau dan harimau itu membalas serangan Adriana dengan mencakar wajahnya dan mengenai mata kanan. Adriana pingsan karena serangan tersebut.

Si harimau pun menatap Tulisha yang bersembunyi di balik batang pohon. Tulisha mengintip si harimau yang melihatnya dengan tenang seakan si harimau ingin Tulisha keluar dari balik pohon tersebut. Tulisha pun keluar perlahan dan mendekat ke tempat kakaknya pingsan. Dia pun memohon kepada si harimau, “Tolong, jangan bunuh kakakku, bunuhlah aku tapi jangan kau bunuh dia, aku bersedia jika kau mau menggantikannya denganku.” Akan tetapi, si harimau tetap tenang dan kemudian menundukkan kepalanya di depan Tulisha, meminta untuk di usap.

Tulisha pun mengusap kepala si harimau dan sekarang dia bisa mendengar apa yang harimau itu pikirkan. “Hai, anak desa, aku dulunya sama sepertimu, akan tetapi aku berubah karena kutukan warga desa atas dosa-dosaku, aku tadinya hanya binatang buas yang haus akan daging dan darah, tapi setelah melihatmu, kesadaranku kembali.” Ujar si harimau dengan nada yang bijaksana dan merendah.

Tulisha pun lanjut memohon, “Aku mohon wahai raja hutan, pulangkan lah kakakku ke desa dengan selamat, dan aku akan menjadi penggantinya untuk menemanimu selama hidupku.” Dengan mata yang tertuju pada si harimau, akhirnya harimau pun menyuruhnya menaiki punggungnya yang besar dan membawa kakanya juga di punggungnya. Satu, dua, dan tiga lompatan dan sang harimau sudah sampai tiga meter di depan batas antara desa dan hutan lebat. “Disinilah aku bisa mengantarkannya, aku tidak bisa mengantarkan masuk ke desa, karena aku telah dikutuk untuk tidak akan bisa kembali.” Ujar si harimau pada Tulisha.

Akhirnya Tulisha meninggalkan kakaknya di depan hutan lebat terlarang dan bersama si harimau, sebelum pergi, ia mencium kening kakaknya kemudian dia meninggalkan desa dan selamanya tak akan pernah kembali. Itulah janji Tulisha kepada si harimau untuk menyelamatkan Adriana, kakak sulungnya.

Cerpen 6 Pemburu Adriana

Pemburu Adriana

Suatu hari, hiduplah seorang anak lelaki pertama dari keluarga Alisha berumur 7 tahun bernama Adriana. Ia tidak dilatih oleh siapapun akan tetapi instingnya sangat tajam dan bisa memperkirakan gerakan temannya ketika mereka bermain Petak Umpet dan tahu dimana temannya bersembunyi. Karena instingnya tersebut, dia selalu tidak di ajak main oleh temannya karena dianggap curang dan tidak adil.

Adik-adiknya bermain petak umpet oleh anak-anak desa, sedangkan dia di rumah membantu ayahnya meracik obat dari tanaman. “Tanaman ini berbau tajam, yah!” ujar Adriana kepada ayahnya. Ayahnya hanya tersenyum dan menjelaskan “Yah, itulah tanaman herbal yang sangat manjur untuk segala jenis racun.” Jelas ayahnya sambil mengusap rambut anaknya.

“Ayah, kenapa aku dibilang curang oleh temanku? Padahal aku tidak mengintip saat bermain petak umpet ketika menjadi penjaga, aku juga tidak melihat dimana mereka bersembunyi!” terangnya kepada si ayah yang tengah sibuk meracik obat lain. “Lalu?” jawab ayahnya satu kata. “yah, Aku hanya tahu mereka ada disitu dan aku tahu siapa saja yang sembunyi di tempat-tempat itu, itu saja kok!” lanjut Adriana sembari membawakan obat racikan ayahnnya ke pinggir pasien.

Sambil mengusap dua lubang gigitan ular berbisa pasien dengan obat racikannya, Ayahnya memberikan solusi, “Bagaimana kalau kamu kasih temanmu kesempatan untuk menang?” ujar sang ayah dengan tenang dan fokus terhadap luka pasiennya. “Tapi itu tidak adil buat ku dong yah!” bentak Adriana sembari keluar dari ruang pasien.

Adriana pun berkeliling desa dan melihat dengan iri adik-adiknya bermain dengan anak-anak lain sementara dia di jauhi oleh mereka karena dianggap curang. Di tengah perjalanan dia berhenti pada rumah Tetua Desa, disana adalah rumah kedua baginya. Dia biasanya mencurahkan keluhannya pada istri tetua desa yang selalu memberinya minuman teh herbal yang hangat dan nikmat, walaupun terasa pahit.

Istri tetua desa pun menceritakan pada Adriana, “Dahulu kala ada seorang pemuda yang gagah perkasa dan kuat serta insting untuk menemukan sesuatu begitu kuat hingga dia menjadi panutan di desa ini, dia juga tampan dengan rambutnya yang bergerai panjang.” Adriana pun menyela, “Lalu kemana pemuda itu?” istri tetua desa pun hening dan melanjutkan, “Suatu hari, ada satu perkara kecil tentang binatang buruan, sang pemuda ingin menjadikan anak monyet sebagai makanan sedangkan penduduk desa ingin memelihara binatang tersebut.”

“Kemarahan sang pemuda merenggut dua nyawa terpenting di desa ini, yaitu Tetua Desa dan suami Minah.” Adriana pun tertarik dengan cerita tersebut, dia pun dengan tenang mendengarkan kelanjutan cerita tersebut. “Kemarahan warga desa mengutuk sang pemuda menjadi Harimau yang buas dan mengusirnya ke hutan lebat yang terlarang.” Ujar istri tetua Desa. Setelah cerita tersebut terlintas di benak Adriana untuk pergi ke hutan terlarang tanpa ketahuan.

Dia pun berangkat pada saat matahari sudah meredupkan cahayanya, dan benar saja dari rumor yang beredar di anak-anak desa bahwa hutan tersebut angker dan mengerikan. Dia masuk lebih dalam melewati batas desa, dan merasakan ada sesuatu di balik semak dan instingnya yang kuat mengatakan untuk lari. Akan tetapi keegoisan Adriana tidak kalah dengan rasa takutnya. Dia pun menantang yang ada di balik semak tersebut. Mata merah dan tubuh sebesar beruang akan tetapi bukan beruang, giginya yang runcing seperti pisau yang siap memotong, dan geraman yang membuat orang yang mendengar merasa merinding.

Adriana pun mengeluarkan pisau bambu yang biasa di pakai ibunya memotong dan memasak. Dengan gaya siap bertarung, sang harimau melompat tepat kedepan Adriana, dan dengan cepat insting Adriana mengatakan untuk menghindar ke kanan. Si harimau menerkam berkali-kali dan berhasil di hindari dengan sempurna oleh Adriana sampai kakinya tidak sengaja terkilir.

Akhirnya Adriana merasa ada di ambang batas antara hidup dan mati. Ketika si harimau menerkam tepat kedepannya, dia menusukkan pisau bambu ke mata kirinya, akan tetapi teriakan dari seseorang yang tak asing melesetkan dan memberikan luka gores yang dalam, begitu pula kuku si harimau yang menggoreskan luka tepat di mata kanannya.

Adriana pingsan dan sudah pasrah akan takdirnya. Tidak lama kemudian, dia berada dalam ruangan penuh dengan keluarganya dan istri tetua desa serta ayahnya yang mengobati luka goresnya dan membalut luka di mata kanannya. Ayahnya menceritakan apa yang terjadi termasuk hilangnya adik bungsu, Tulisha ke dalam hutan. 

Atas kecerobohan dan keberaniannya, Adriana mendapat julukan Pemburu Adriana yang bertugas mengambil barang dari hutan terlarang, membunuh harimau yang terkutuk, dan menyelematkan adiknya yang ada di luar desa dan wajib kembali dengan selamat dan bukti buruan sebagai hukuman sekaligus kehormatan pada keluarganya dan generasi penerusnya.

Selasa, 23 Juni 2015

Cerpen 5 Perjalanan Abuy

Perjalanan Abuy

Abuy, sang buaya yang berubah menjadi manusia, melanjutkan perjalanannya menuju desa di tengah hutan. Akan tetapi dia rasakan akan sangat sulit dan berbahaya, juga memakan waktu yang lama untuk sampai ke tempat tujuan. Dia tetap berniat untuk melanjutkan perjalanannya karena ingin membalas janji sang gadis kecil bernama Alisha. Gadis yang selalu ada di kepala Abuy dan selalu dikenang olehnya.

Dia pun mengecup kalung bunga yang ada di lehernya dan percaya bahwa dia akan sampai dengan selamat. Melewati semak belukar dan jalan bebatuan bukanlah hal mudah bagi Abuy karena dia tidak memakai alas kaki dan berjalan kaki apa adanya. Apalagi dengan ngeongan sang kucing yang menandakan saatnya makan sudah tiba. Di hutan lebat yang terlarang ini tidak banyak binatang ataupun serangga.

Pilihan satu-satunya untuk mengambil makanan ialah menangkap ikan, untungnya Abuy pernah melihat cara membuat jaring dari semak belukar, akar, dan dedaunan untuk menangkap ikan-ikan di sungai. Dia pun mencari hal yang mirip yang bisa ia jadikan jaring. 1 jam kemudian dia menjadikan bahan alam menjadi perangkap ikan. Kucing sang penyihir terus mengeong dan semakin lama semakin kencang.

Abuy merasakan ada sesuatu yang berbahaya di hutan ini, maka dia membuat kucing itu diam dengan mengikat akar pada mulut kucing dengan erat tapi tidak kencang. Kucing itu meronta-ronta dan dengan cakarnya mencoba melepaskan kekangan yang ada di mulutnya tetapi tidak berhasil.
Abuy meneruskan jaring yang kedua dengan tangannya dengan hati-hati. Sang kucing terus berusaha melepaskan akar tersebut seakan ini keadaan gawat dan mendesak. Seakan kucing itu ingin memberitahukan ‘Abuy bahwa ada bahaya tepat di belakang kita! Cepat kita lari tinggalkan tempat ini.’
Akan tetapi Abuy tidak menghiraukan sang kucing, dan tepat setelah itu, Abuy bisa merasakan pijakan sesuatu yang sangat berat, kuat dan bertenaga, serta geraman yang terdengar seperti guntur. Dia pun ketakutan, dan dia baru sadar bahwa selama ini dia diintai. Pandangan yang begitu tajam hingga merasuk kedalam dadanya dan jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Keringat dingin bercucuran dan tangannya bergetar.

Dia menoleh sedikit demi sedikit hingga akhirnya tatapan mata tertuju pada mata merah di balik semak belukar. Bayangan sebesar beruang namun bukanlah beruang. Akhirnya sang makhluk bermata merah menunjukkan sosoknya. Harimau yang terkutuk!

Abuy pun terlonjak dari tempatnya duduk dan berusaha kabur dengan kaki yang terasa lemas. Kucing itu pun akhirnya berhasil melepaskan dirinya dan mulai menggeram kepada si harimau. Akan tetapi geramannya bukan menakuti si harimau, malah berbalik menggeram kepada si kucing. Geramannya menggema di hutan lebat itu dan terasa ada hempasan angin yang kuat. Kucing itu pun mulai melompat ke wajah harimau dan mencakar dengan cakarnya. Sang harimau membalas cakaran sang kucing dengan mencakar badan si kucing, akan tetapi meleset dan si kucing membalas cakaran harimau dengan menggigit kaki harimau tersebut.

Dalam pertarungan antar kucing ini, sang harimau membanting si kucing dan menginjak si kucing tepat di perutnya. Kemudian menendang si kucing jauh, tepat di depan abuy. “Me…ong.” Kucing tersebut mengeong sambil mengelus kaki Abuy yang menandakan untuk pergi dari tempat ini.
Abuy memahami maksud si kucing tersebut, sayangnya, begitu pula dengan harimau yang membaca maksud si kucing. Dia menerkam si kucing dan menggigit kepalanya. Kemudian dilanjutkan mencakar Abuy tepat di dadanya. Abuy pun terjatuh ke sungai dan terbawa arus sungai yang deras dan dengan cepat menghantarkan Abuy menjauh dari sang harimau dengan bekas cakaran yang tertanam di dadanya yang mengalir berdarah.

Cerpen 4 Penyihir Hutan

Penyihir Hutan

Jauh di dalam hutan, tinggalah seorang wanita tua bungkuk dengan kursi goyang dan tongkat sepanjang kepalanya dengan bola kristal di atas tongkat tersebut. Ditemani oleh kucing peliharaannya bercorak hitam putih, dia menatap sungai yang mengalir sambil mengelus kucingnya. “Tamu-ku sepertinya datang.” Ujar sang penyihir kepada si kucing dan berhenti mengelus. Disitu dia bertemu dengan buaya putih kecil dengan untaian bunga warna-warni terikat erat di kaki sang buaya.


Dia pun mengambil buaya tersebut dan mendudukan sang buaya di pangkuannya. Kucing pun pergi ke dalam gubuk dan mengambil sebuah botol dengan ramuan berwarna merah muda. Sang penyihir meminumkan ramuan tersebut kepada sang buaya, dan ajaib buaya itu bisa berbahasa manusia.
“Wahai penyihir! Bisakah aku minta satu permintaan saja?” Tanya sang buaya terhadap penyihir tua tersebut. “Tentu, buaya kecil!” ujar sang penyihir sembari mengelus sisik keras buaya tersebut layaknya kucing.

“Jadikanlah aku manusia!” pinta sang buaya kepada sang penyihir. “Untuk apa, buaya kecil?” Tanya sang penyihir kepada buaya kecil tersebut. “Aku ingin menikahi seseorang yang telah menolongku ini dan merawatku penuh kasih sayang.” Jawab sang buaya kepada penyihir. “Tentu saja, akan tetapi setiap permintaan harus bertimbal-balik.” Jawab sang penyihir ramah.

“Aku sudah siap untuk itu!” jawab sang buaya tegas. Sang penyihir pun terhening sejenak dan mulai bicara, “Selama 10 tahun ini, kau harus menjadi pembantu yang mengurusiku,maka akan ku kabulkan permintaanmu!” jawab sang penyihir. Buaya itu pun menyanggupinya dan sang penyihir menyuruh sang kucing mengambil botol ramuan dengan cairan hijau di botol tersebut.

Dia menegukkan semua isi botol ramuan itu ke mulut si buaya dan sinar yang sangat terang keluar dari tubuh sang buaya, mengangkatnya serta memasukkan sang buaya kedalam sungai. Beberapa menit kemudian sinarnya menghilang, seseorang muncul dengan bertelanjang dada dengan rambut putih pendek dan wajah asing.

Dia lah sang buaya, dengan sosok seorang pria yang gagah. Sang buaya pun keluar dari sungai dan bertekuk lutut di hadapan penyihir tua tersebut. “Aku siap mengabdikan diriku untuk mu, wahai penyihir!” ujar sang buaya, penyihir itu pun mengangguk dan tersenyum, “Kau harus mempunyai nama, hai buaya, mulai sekarang nama mu adalah Abuy” jawab sang penyihir. Sang buaya pun tersenyum dan berterima kasih kepada sang penyihir tua tersebut.

Tahun demi tahun berlalu dan tamu sang penyihir; kucing liar, burung-burung, ikan, tikus membuat Abuy merasakan kehangatan sang penyihir hutan. Tidak ada satupun manusia mengunjunginya akan tetapi penyihir itu tidak merasa sedih ataupun duka, dia merasa sangat senang karena mempunyai sahabat binatang dan Abuy yang bisa di ajak berbicara, makan di meja yang sama, dan bercanda bersama. Abuy menikmati masa-masanya di gubuk penyihir.

Tepat hari esok adalah hari 10 tahun Abuy menjadi manusia dan menepati janjinya. Penyihir tua itu sudah sangat tua sehingga dia tidak bisa meramu obat untuk membuat dirinya tetap sehat, dia bukanlah seorang yang membangkang pada alam.

Sang penyihir menyampaikan pesan terakhirnya dan membisikan ucapan selamat tinggal serta terima kasih telah menunggu ajalnya bersama. Pesan terakhir sang penyihir ialah Abuy hanya bisa bertahan 10 tahun menjadi manusia dan kemudian ia akan kembali ke wujud aslinya ketika 10 tahun lagi telah berlalu.

Penyihir takut Abuy akan kecewa, tetapi Abuy sangat senang karena telah memberikannya kesempatan untuk menjadi manusia. Kecupan di kening dari Abuy adalah sesuatu yang terakhir sang penyihir rasakan. Abuy akhirnya pergi meninggalkan gubuk sang penyihir melewati hutan lebat yang dilarang dengan membawa peliharaan penyihir dan tas berisi ramuan penyihir yang dia titipkan padanya. Seketika Abuy menjajakkan kakinya keluar, gubuk tersebut hilang tak berbekas.

Cerpen 1 Penyesalan Sang Monyet

Penyesalan Sang Monyet 

Suatu hari hiduplah seekor anak monyet di desa terpencil di dalam hutan. Di tinggal mati oleh orang tuanya, monyet tersebut di rawat oleh janda desa bernama Minah. Setiap hari di beri makan pisang oleh Minah yang mempunyai ladang pohon tersebut. Minah merasa sangat senang dan tidak keberatan karena dia tinggal sendiri di rumah kayu reyotnya yang kecil dan sempit. Setiap malam ketika penduduk desa menghentikan aktifitas berladangnya, Minah selalu menceritakan dongeng desa tersebut kepada sang monyet. Sang monyet menikmati suara lembut dan cerita dongeng Minah yang indah dan bisa dipahami olehnya.


Bulan demi bulan berlalu dan sang monyet tumbuh besar. Sang monyet selalu membantu Minah dalam mengambil pisang-pisang yang menguning dan sudah matang untuk kemudian setengah dari hasil tersebut di tukar ; dan sisanya di letakkan di gubuk. Monyet tersebut sangatlah senang karena dapat membantu dengan melompat kesana-kemari dari satu pohon ke pohon lain sembari mengambil pisang. Ketika akan mengambil pisang terakhir, sang monyet menyadari adanya bunga randa tapak  kuning keemasan yang indah tumbuh di bawah pohon tersebut. Dia pun mencabutnya untuk hadiah istimewa kepada sang ibu. Malam pun tiba dan sang monyet memberikannya pada Minah ketika perjalanan menuju rumah.

Minah marah besar ketika melihat sang monyet mencabut bunga randa tapak tersebut, dia pun memarahi sang monyet sehingga dia kabur dari rumah Minah di gelapnya malam. Monyet tersebut menangis dan kabur tidak akan mau kembali sampai Minah mencarinya dan meminta maaf kepadanya. Minah tahu bahwa dia telah keterlaluan memarahi sang monyet. Dengan hati yang cemas Minah pergi mengambil obor bambu yang menerangi rumah kayunya. Berharap bisa menemukan sang monyet dan meminta maaf.

Minah, yang khawatir akan sang monyet, mencari di kegelapan malam dengan satu obor redup terhembus angin yang ada di tangan kanannya. “Sayang, sayang kemana kau? Kembalilah kerumah sayang, aku merindukanmu, maafkan aku sayang!” panggil Minah di kegelapan malam. Akan tetapi sang monyet tetap tidak mau keluar dan bertindak lebih egois dengan masuk ke hutan lebat yang dilarang penduduk desa. Minah mencari keseluruh penjuru desa dan sampai pada tempat masuk hutan lebat yang tahu bahwa dilarang oleh penduduk.

Dengan hati yang gundah gelisah dia tetap bersikeras masuk kedalam demi menemukan sang monyet, anak angkat satu-satunya. Dia mengulang panggilannya kembali “Sayang, sayang kemana kau? Kembalilah kerumah sayang, aku merindukanmu, maafkan aku sayang!” dan keheningan pun melanda di hutan gelap tersebut, tidak seekor jangkrik pun menyanyi di gelapnya hutan lebat itu.

Minah tidak mendengar suara apapun, dan dia terus melanjutkan perjalanannya. Dia mendengar suara; dengusan dan hentakan kaki yang berat dilanjutkan dengan geraman. Minah menjadi panik dan dia merasakan diantara semak belukar, ada sesuatu yang ingin menyantap dirinya. Dengan berjalan cepat, dia masuk lebih dalam ke hutan sambil mengulang panggilannya dengan harapan sang monyet akan muncul.

Sang monyet tidak mau keluar dan dia berada di atas pohon jauh tiga pohon dimana Minah berada. Suara geraman makin kencang dan Minah lebih ketakutan. Sang monyet tetap egois dan terus melompat satu pohon ke pohon lain, semakin Minah mendekat semakin monyet tersebut menjauh. Tiba-tiba keheningan pun datang ke telinga sang monyet. Tidak ada lagi suara panggilan Minah. Sang monyet pun heran dan melompat kembali ke pohon-pohon sebelumnya. Dia melihat cahaya lembut dari obor yang menyala samar-samar menerangi gelapnya hutan. Dua meter di dekat obor tersebut terlihat sesosok binatang buas yang tengah melahap sesuatu. Tangan wanita yang coklat dan kasar serta keriput yang dia kenali, keluar dari mulut si harimau yang buas yang kemudian kembali melahap tangan itu seutuhnya.

Harimau buas menatap sang monyet dengan tatapan tajam kemudian kembali ke kegelapan melewati semak-semak. Sang monyet merasakan sesak di dalam dadanya. Penyesalan sekaligus ketakutan yang mendalam yang dia tidak akan pernah bisa ungkapkan dengan apapun. Sang monyet pun pergi dari desa dan selamanya tinggal di hutan lebat untuk menebus dosanya kepada Minah, orang tua angkatnya yang dia sangat cintai.

Cerpen 3 Harimau Terkutuk

Harimau Yang Terkutuk

Dahulu kala di desa dalam hutan hiduplah seorang pemuda, anak pertama dari tetua desa, yang sangat gagah perkasa dan sering menyombongkan dirinya akan kekuatan yang ia punya. Dia bisa membelah batu sangat besar menjadi dua dan menggetarkan tanah dengan hentakan tangan dan kakinya. Rambutnya yang panjang mampu mengikat ratusan ranting tanpa satu batang pun terjatuh. Penduduk desa pun bangga akan pemuda tersebut dan selalu menggunakan kekuatan pemuda tersebut untuk membantu penduduk desa mengambil ataupun membuat sesuatu.


Dialah yang mengalirkan air dari danau puncak gunung dan membuat jalur sungai agar penduduk desa bisa minum, mencuci, dan mandi. Dia pula yang berburu ke dalam hutan lebat terlarang sendiri dan membawa hasil buruan untuk di bagikan kepada penduduk desa. Penduduk sangat senang dengannya akan tetapi juga iri dengan kekuatan yang dia miliki.

Suatu hari, hendaklah sang pemuda berburu kedalam hutan untuk mencari binatang buruan, akan tetapi saking seringnya pemuda itu berburu, binatang-binatang yang biasa ia buru satu persatu mulai punah, bahkan hampir tidak ada satupun. Dia menemukan anak monyet yang ditinggal mati oleh orang tuanya dan membawa hanya anak monyet sebagai hasil buruan.

Pemuda kembali dengan tangan menggenggam kasar anak monyet, dia pun menyarankan penduduk untuk makan dengan binatang tersebut, akan tetapi Minah dan suaminya yang dengan wajah memelas, memohon agar membiarkan anak monyet itu hidup dan jangan di bunuh. Semuanya pun hening dan kemudian menyetujui untuk merawat monyet itu oleh si Minah dan suaminya.

Sang pemuda tersebut sangat marah, dia pun berteriak dan menggema melebihi desa, bahkan melewati hutan lebat dan burung-burung pun terbang karena ketakutan. Dia tidak terima hasil buruannya di berikan ke Minah dan suaminya karena hasil buruan adalah hasil buruan untuk dimakan.

Akan tetapi banyak yang tidak setuju kepada si pemuda yang sombong ini dan mengusirnya dari desa. Sang pemuda pun berontak dan semua penduduk tidak bisa berkutik di hadapannya. Di tengah berontak dia tidak sengaja membunuh tetua desa dan suami Minah dengan tangannya sendiri. Pandangan penduduk pun berubah menjadi benci, dan bukannya takut melainkan berdiri tegap dan mengusir si pemuda dari desa dengan melemparkan batu, lumpur, bahkan keranjang anyaman penduduk sendiri. Sang pemuda yang gagah perkasa pun takluk oleh puluhan penduduk desa yang marah akan kelakuannya.

Dia pun lari menuju hutan lebat dimana hutan tersebut adalah tempat satu-satunya untuk sang pemuda lari dari amukan penduduk desa. Minah hanya menangis dan berteriak, menepuk-tepuk serta menggoyangkan tubuh suaminya yang terhempas oleh kekuatan sang pemuda tadi.

Tubuhnya yang tidak bergerak serta matanya yang tertutup menandakan kepergiannya bersama dengan tetua desa. Akhirnya, Minah pun menyesali kematian suaminya. Para penduduk mengumpulkan bunga berwarna-warni yang kemudian di kumpulkan dan di taruh diatas kuburan tetua desa, begitu juga suami Minah yang di kubur bersebelahan dengan tetua desa di pusat desa sebagai peringatan atas kejadian yang tidak terlupakan. Penduduk desa pun mengutuk sang pemuda menjadi harimau buas yang membawa petaka di setiap langkahnya agar hidup sendiri di alam liar selamanya dan tidak bisa kembali ke desa apapun yang terjadi.

Sang pemuda, yang tengah berlari ke hutan lebat terlarang untuk menghindari amukan warga desa, pun menjerit kesakitan dan tubuhnya mengeluarkan  bulu berwarna hitam, oranye, dan putih. Kukunya menjadi runcing, giginya runtuh dan digantikan dengan taring-taring setajam pisau. Wajahnya berubah bentuk menjadi wajah seperti kucing buas. Seluruh tubuh, akal, dan pikirannya berubah menjadi hewan buas yang ia selalu buru, harimau terkutuk.